~My Red Play Ground~

Monday, December 17, 2007

Pengiriman Pasukan ke Irak: Upaya Australia Menjadi Good International Citizen

Setiap negara pasti memiliki national interest yang beragam dan berusaha diwujudkannya lewat kebijakan-kebijakan dan implementasinya. Kebijakan dan implementasinya tersebut beragam jenisnya, baik itu berupa kebijakan ke dalam (kebijakan dalam negeri) atau ke luar (kebijakan luar negeri).

Kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor dan memiliki tujuan yang sangat beragam pula. Kebijakan tersebut bukan hanya dalam bentuk kepentingan pertahanan, ekonomi atau perdagangan, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan pemerintah yang tradisonal, namun ada satu kepentingan yang juga sangat penting, yaitu being seen to be a good international citizen, dilihat sebagai warga internasional yang baik. Upaya ini sangat tidak mudah mengingat kecenderungan tindakan yang dilakukan untuk menjadi warga internasional yang baik kadang sering bertabrakan dengan upaya untuk memenuhi national interest negara tersebut yang lain ataupun kadang muncul pertentangan bahkan oleh warga negaranya sendiri.

Bagi Australia sendiri upaya agar negaranya dilihat sebagai warga internasional yang baik tertuang dalam elemen politik luar negeri Australia yang kemudian diterjemahkan menjadi pokok-pokok politik luar negeri Australia. Hal ini penting mengingat posisi Australia dalam dunia internasional sebagai sebuah negara middle power yang kekuasaan dan pengaruhnya masih terbatas, dibandingkan dengan negara great power. Oleh karena itu Australia merasa perlu memberikan kesan bahwa negaranya adalah negara beradap yang patut untuk diperhitungkan, layak diajak untuk bekerjasama dan dapat dipercaya. Berbagai upaya pun dilakukan oleh Australia untuk mendapatkan predikat tersebut termasuk diantaranya memberikan batuan kepada negara-negara dunia ketiga dalam lingkup regionalnya (negara-negara di Asia dan Pasik Selatan), membantu korban bencana alam, dsb. Namun, seperti yang telah disebutkan diatas tidak semua upaya menjadi warga internasional yang baik berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Tercatat beberapa bentuk konkrit upaya Australia, khususnya dalam kepemimpinan PM John Howard, untuk menjadi warga internasional yang baik tidak berjalan seperti yang diharapkan sebelumnya karena berbagai macam faktor. Salah satu upaya yang tidak berjalan dengan mudah tersebut adalah menyangkut kebijakan pemerintah Australia yang mengirimkan pasukannya ke Irak.

Pengiriman Pasukan Australia dalam Perang Irak tahun 2003

Menyusul terjadinya peristiwa serangan teroris pada 11 September 2001 terhadap Amerika Serikat, menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap percaturan politik internasional pasca berakhirnya perang dingin. Rangkaian peristiwa sesudahnya benar-benar menimbulkan banyak kegemparan. Mulai dari dikeluarkannya kebijakan anti-terorisme oleh Amerika Serikat yang kemudian diikuti oleh negara-negara sekutunya, dan pada gilirannya merembet hingga dilakukannya invasi Amerika Serikat ke Afganistan dan ke Irak.

Pada 20 Maret 2003, berdasarkan beberapa alasan dan pertimbangan, Amerika Serikat memutuskan untuk menginvasi Irak, dengan mangabaikan legalitas dari Dewan Keamanan PBB, serta ketidaksetujuan negara-negara diantaranya negara G-7 seperti Perancis dan Jerman.[1] Aksi uniteral Amerika Serikat ini pada akhirnya tetap didukung oleh negara-negara sekutu setianya, beberapa diantaranya adalah Inggris dan Australia. Beberapa tujuan utama Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya adalah menghancurkan senjata pemusnah masal yang dipercaya masih dimiliki oleh Irak, serta menggulingkan rezim Saddam Hussein dan menggantinya dengan pemerintahan baru yang dianggap sesuai dengan kualifikasi yang disyaratkan oleh Amerika Serikat.

Bagi Australia keikutsertaan negaranya dalam perang Irak, bukanlah perang bersama Amerika Serikat yang pertama kali. Sebelumnya Australia juga ikut mengirimkan pasukannya ke Vietnam. Pengiriman pasukan Australia ke Irak ini pun menjadi bahan perdebatan di Australia sendiri, mulai di antara kalangan masyarakat biasa hingga di dalam gedung parlemen. Suara mereka terbagi antara menyetujui atau tidak menyetujui kebijakan tersebut. Terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut, pemerintah Australia tetap mengirimkan pasukannya sebanyak 2.000 personil angkatan bersenjata (ADF) Australia, dikirim untuk membantu tentara Amerika Serikat berperang di Irak. Kendati banyak protes di dalam negeri, hingga saat ini tentara Australia masih banyak yang bertahan di Irak, jumlahnya diperkirakan masih ada sekitar 1.300 personil. Dengan demikian berarti Australia menjadi negara terbesar ketiga yang mengirim pasukan ke Irak setelah Amerika Serikat dan Inggris.

Argumen Pemerintah yang Dikemukakan Mengenai Pengiriman Pasukan Ke Irak

Dalam konteks melaksanakan upaya menjadi warga internasional yang baik, pemerintah Australia menyatakan beberapa argumen untuk membenarkan kebijakan pengiriman pasukannya ke Irak tersebut.

Pertama, karena Irak dianggap memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah masal (weapons of mass destruction). Australia, melalui menteri pertahananya, mengklaim bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan senjata tersebut yang diberikan oleh penyelidik persenjataan PBB di Irak.

Dalam bukti tersebut tertulis bahwa di Irak terdapat 122mm amunisi kosong yang ditemukan di Ukhaider, area pembuangan amunisi pada 16 Januari 2003. sebelas diantaranya dilaporkan dalam keadaan yang sempurna. Sedangkan dua belas lainnya menarik perhatian lebih besar dibandingkan yang lainnya dan kemudian diserahkan kepada para ahli untuk dipelajari. Namun, tidak ditemukan adanya bahan-bahan kimia maupun biologi disekitar tempat ditemukannya amunisi-amunisi tersebut. Terdapat kemungkinan bahwa amunisi-amunisi tersebut diimpor oleh Irak pada akhir tahun 1980-an. Amunisi-amunisi tersebut tidak disebutkan oleh2 Irak pada deklarasi tentang pemusnahan senjata pemusnah masal pada tahun 1997 dan Desember 2002. Barang-barang tersebut akan dilarang melalui resolusi PBB dan segala macam zat kimia yang digunakan untuk melengkapi amunisi-amunisi tersebut juga akan dilarang. Para penyelidik tersebut juga menemukan bunker yang btidak terpakai. Salah satu dari bunker tersebut dipercaya dibangun pada akhir tahun 1990-an. Bunker-bunker tersebut kemudian dipelajari lebih lanjut oleh para ahli yang bekerja untuk PBB. Australia menduga Irak masih terus mengembangkan senjata-senjata pemusnah masalnya.[2]

Australia berpendapat bahwa kepemilikan senjata pemusnah masal tersebut oleh Irak sangat berbahaya bagi keamanan dan perdamaian dunia, mengingat negara tersebut dipimpin oleh Saddam Hussein. Dan bagi Australia mengurangi penyebaran senjata pemusnah masal merupakan tindakan yang benar, sesuai dengan hukum, dan juga merupakan salah satu dari kepentingan Australia[3], oleh karenannya salah satu tujuan pengiriman pasukan ke irak adalah untuk mengakhiri pengembangan senjata pemusnah masal, dan menghancurkan yang masih tersisa.

Kedua, Australia dan Amerika Serikat memiliki persepsi bahwa terdapat keterkaitan antara Irak dengan jaringan teroris Al-Qaeda ataupun dengan peristiwa serangan teroris 11 September 2001. Masih terkait dengan keberadaan senjata pemusnah masal di Irak, Australia memiliki ketakutan bahwa senjata tersebut kalau tidak segera dihancurkan akan berpindah tangan kepada para teroris. Sehingga aksi militer yang cepat dibutuhkan dalam hal ini. Argumen ini juga masih terkait erat dengan komitmen Australia untuk ikut serta dengan Amerika Serikat memberantas terorisme demi terwujudnya stabilitas keamanan dunia.

Ketiga, Australia punya kepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan kebebasan sipil di Irak.[4] Sebagaimana yang diketahui bahwa menurut Australia, rakyat Irak tidak pernah merasakan demokrasi, terutama setelah Irak dikuasai oleh pemimpin yang diktator dan otoriter yaitu Saddam Hussein semenjak tahun 1979. Di samping itu menyebarkan demokrasi telah menjadi agenda internasional, yang dielu-elukan teru Amerika Serikat, semenjak berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet. Australia dan Amerika Serikat akan mempromosikan demokrasi di Irak, hingga Irak dianggap mampu melakukan sendiri dengan benar.

Keempat, Invasi ke Irak juga bertujuan untuk menegakkan hak asasi manusia di sana. Selama bertahun-tahun telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran di Irak yang dilakukan oleh rezim Saddam Hussein terhadap kaum minoritas Kurdi di Irak Utara, merupakan hal yang sangat mengerikan. Saddam menggunakan senjata kimia, biologi, dan radiologi untuk digunakan membantai warganya sendiri. Apabila pengembangan senjata tersebut tidak segera dihentikan maka kejadian tersebut akan terus berlanjut di masa mendatang. Australia merasa bahwa kedatangan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat ke sana akan mengakhiri penderitaan rakyat Irak selama beberapa dekade ini.

Kelima, Irak memiliki kencenderungan mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan aset-aset milik negara tetangganya, dan hal tersebut tidak dapat ditoleransi dalam komunitas internasional.[5] Seperti yang terjadi terhadap Iran pada tahun 1979 dan Kuwait pada 1990. Australia beranggapan tindakan yang dilakukan oleh Irak tersebut berbahaya bagi stabilitas kawasan Timur Tengah. Namun, disisi lain Australia melihat adanya kemungkinan bahwa Invasi ini akan didukung oleh negara-negara tetangga Irak yang selama ini merasa terintimidasi oleh perilaku Irak.

John Howard juga menyatakan keterlibatan Australia dalam invasi tersebut juga sesuai dengan pokok kebijakan luar negeri Australia, menjadi good international citizen, yaitu menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Australia percaya bahwa Saddam Hussein adalah ancaman terhadap perdamaian. Saddam Husein yang dianggap berbahaya bagi perdamaian dunia, tidak dapat dibiarkan memiliki senjata pemusnah massal. Karenanya pelucutan senjata pemusnah masal yang selama ini diinginkan oleh banyak negara dianggap akan mendatangkan perdamaian dunia. Pemerintah Australia juga mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak ingin menggunakan cara militer yang akan penuh kekerasan untuk menghadapi Irak, jika Irak bersedia bekerjasama.

Masalah yang muncul:

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kebijakan yang menyangkut upaya menjadi good international citizen, tidaklah selalu mudah untuk diterapkan. Terutama kebijakan mengenai pengiriman pasukan ke Irak, dalam pelaksanaannya mengalami banyak rintangan dan masalah.

Masalah pertama yang muncul adalah perdebatan di parlemen mengenai apakah Australia akan mengirimkan pasukannya atau tidak, bahkan ketika pengiriman pasukan tersebut masih berupa wacana. Akhirnya Partai Buruh melalui pemimpinnyan pada saat itu, Simon Crean, mengatakan bahwa mereka akan menjadi oposisi dalam kebijakan ini, karena mereka tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang melangkahi otoritas PBB, disamping itu mereka juga merasa bahwa pengiriman pasukan ke Irak hanya akan menyia-nyiakan nyawa tentara Australia di sana. Keputusan menjadi oposisi juga dilakukan oleh Australian Democrats Party dan Greens Party.

Masalah yang kedua, dengan keikutsertaan Australia dalam perang Irak hanya akan semakin menguatkan opini publik bahwa Australia adalah negara pengekor Amerika Serikat, yang akan melakukan apapun jika Amerika Serikat memintanya. Bagaimana tidak, ketika Amerika Serikat menyatakan perang ke Irak, Australia pun ikut bergabung dengan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat tersebut. Australia pun semakin dianggap sebagai negara yang tidak berpendirian karena hanya dapat mengikuti apa yang dikatakan oleh Amerika Serikat.

Masalah ketiga, adalah karena kebijakan mengikuti perang menimbulkan aksi protes besar-besaran yang dilakukan masyarakat Australia, pada umumnya menentang dikirimkannya pasukan Australia ke Irak tahun 2003. Mayoritas masyarakat Australia beranggapan bahwa perang tersebut tidak ada gunanya hanya menambah penderitaan rakyat Irak. Bahkan sebelum Amerika Serikat secara resmi menginvasi Irak pada tanggal 23 Maret 2003, di Australia telah terjadi protes besar-besaran di berbagai tempat. Pada tanggal 16 Februari 2003, diperkirakan sejumlah 500.000 orang melakukan aksi Anti Perang dengan turun ke jalan dan juga menentang keterlibatan Australia dalam Perang di Irak (terbesar kedua sepanjang sejarah setelah perang Vietnam). Sebuah survey pada tahun 2003 mengungkapkan, dukungan publik Australia terhadap pemerintahan PM John Howard merosot, dari 45% jadi hanya 39%, karena kebijakan tersebut.

Setelah pasukan Australia dikirim pun, protes masih terjadi belum juga mereda. Pada tangga 17 Maret 2007 lalu, Sekitar 300 pengunjuk rasa melakukan long-march di Sidney, untuk memperingati peringatan tahun ke empat pendudukan Irak oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Aksi itu, juga dilakukan di sejumlah kota di Australia. Para pengunjuk rasa menyerukan penarikan pasukan, tidak hanya dari Irak tapi juga dari Afganistan. Maraknya masyarakat Australia yang menetang perang Irak semakin lama semakin menurunkan popularitas pemerintahan Howard.[6]

Keempat, banyak pihak yang menentang pengiriman pasukan ke Irak. Karena berpendapat kebijakan tersebut menyebabakan politik luar negeri Australia semakin mirip dengan politik luar negeri Amerika Serikat, dan yang menjadi masalah adalah jika keadaannya tetap demikian, berarti Australia sama saja dengan mengharapkan musuh Amerika Serikat menjadi musuhnya juga, seperti menjadi sasaran teroris. Walaupun bom Bali nampaknya tidak ada kaitannya dengan ini, namun tetap saja kekhawatiran tersebut tetap ada. Bahkan bahaya tidak datang hanya dari para teroris saja, tetapi bisa juga dari negara-negara yang berseberangan pandangan dengan Amerika Serikat, seperti Korea Utara.

Masalah-masalah yang ada di atas sama sekali tidak berpengaruh terhadap penempatan pasukan di Irak, nampaknnya pemerintahan Howard tidak terlalu ambil pusing soal pertentangan-pertentangan yang muncul di dalam negerinya tersebut.

Analisis Pengiriman Pasukan Australia ke Irak Sebagai Upaya Menjadi Good International Citizen

Upaya yang dilakukan pemerintah Australia agar dilihat sebagai warga internasional yang baik oleh negara-negara lain melalui pengiriman pasukannya ke Irak menimbulkan kontroversi yang beragam baik dalam negeri Australia sendiri maupun dari luar.

Banyak pihak yang tidak setuju mengenai pengiriman pasukan tersebut, salah satunya adalah karena kebijakan Australia yang terkesan selalu menuruti kehendak Amerika Serikat. Bahkan ketika melihat argumen yang diajukan Australia sebagai pembenaran perang Irak hampir tidak terdapat perbedaan dengan pembenaran yang digunakan oleh Amerika Serikat. Pengaruh Amerika Serikat yang besar terhadap penentuan kebijakan ini tercermin dalam pernyataan tersebut. Bahkan secara tidak langsung Howard mengakui hal tersebut dengan mengatakan partisipasi Australia dalam perang Irak merupakan salah satu tugas Australia sebagi anggota aliansi Amerika Serikat.[7] Dalam kesempatan lain Howard juga mengatakan. "I said to the Congress yesterday (13 June 2002) that America had no better friend anywhere in the world than Australia”.[8] Tampaknya dibalik argumen bahwa Australia ingin dianggap sebagai warga internasional yang baik, faktor ingin mempererat koalisi dan hubungan baik dengan Amerika Serikat juga memberikan konstribusi besar dalam pengambilan keputusan pengiriman pasukan tersebut.

Namun ironisnya, justru dengan mengirimkan pasukannya ke Irak usaha Australia untuk menjadi warga internasional yang baik tidak berhasil, karena kebijakan tersebut justru mencoreng nama Australia sebagai negara yang mendukung peperangan dan tidak mengindahkan otoritas PBB, karena tetap mengirim pasukannya ke Irak padahal PBB tidak mendukung invasi terhadap Irak tersebut. Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa hingga saat ini belum ditemukan senjata pemusnah masal yang dulu dituduhkan ada di Irak, dan kenyataan mengnasi kondisi Irak pasca Invasi yang bukannya membaik justru semakin buruk.

Karena banyaknya aksi protes yang diterima, kebijakan ini juga sempat menggungcang pemerintahan Howard walaupun dampaknya tidak begitu terasa dan Howard masih dapat terpilih dalam pemilu tahun 2004 karena dianggap masih dapat mempertahankan kestabilan ekonomi Australia. Namun tampaknya hal tersebut tidak akan bertahan lebih lama lagi, dari jajak pendapat yang dipublikasikan Sydney Morning Herald, Senin (12 Februari 2007), Howard kalah dari pemimpin oposisi Kevin Rudd sebagai orang yang paling dikehendaki rakyat untuk menjadi pemimpin negara itu. Dalam jajak pendapat itu, 48 persen dari 1.412 pemilih menghendaki Rudd menjadi PM sedangkan hanya 43 persen masih menginginkan Howard, 9 persen lainnya tidak memutuskan.

Namun di atas segala kegagalan perang Irak, Howard masih beralasan bahwa dirinya tidak peduli alasan yang dulu digunakan untuk menginvasi Iraq sudah menguap Atau konsekuensi dari invasi tersebut ribuan orang Irak meninggal, yang penting bagi Howard, sekarang Saddam sudah digulingkan dari pemerintahannya[9]. Pernyataan ini menjadi bukti bahwa alasan yang dulu diungkapkan sebelum resmi mengirim pasukannya ke Irak, hanyalah pembenaran dari sebuah invasi, bukan tujuan yang sebenarnya.

Terlepas dari semua itu, usaha mendapatkan predikat sebagai warga internasional yang baik melalui pengiriman pasukan ke Irak memang tidak berhasil sesuai yang diharapkan pemerintah Australia. Mungkin sebaiknya untuk mendapatkan predikat tersebut Australia menggunakan cara-cara konvensional yang tidak menimbulkan kontroversial seperti memberikan bantuan kepada negara-negara dunia ketiga yang membutuhkan, dsb. Dengan begitu Australia tidak akan kehilangan hubungan baik dengan Amerika Serikat namun dapat juga menjadi warga internasional yang baik sekaligus.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Evans, Gareth., and Bruce Grant. Australia’s Foreign Relations: In the World of the 1990s, Victoria: Melbourne University Press., 1995.

Setiawati, Siti M., et al. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia. Yogyakarta: Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah Jurusan Ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada., 2004.


Situs Internet:

Australian Politics: http://www.australianpolitics.com/

Sydney Morning Herald: http://www.smh.co.au/

Surya: http://www.surya.co.id

Foreign Policy in Focus: http://fpif.org/fpiftxt/154







[1] Siti M. Setiawati, et al., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta, 2004), hal 13-14.

[2] Koferensi Pres yang diadakan oleh Minister for Defence, Senator Robert Hill, di Commonwealth Parliamentary Offices, Adelaide. Dalam http://www.australianpolitics.com/news/2003/03-01-17.shtml

[3]Transkrip Pidato John Howard menyusul keputusan Amerika Serikat untuk memimpin perang ke Irak, di televisi nasional. Dalam http://www.australianpolitics.com/news/2003/03-03-20/.shtml

[4] Hamilton, Clive, The Left and the Iraq War(2005), dalam http://fpif.org/fpiftxt/154

[5] Pidato Mantan Menteri Pertahan Australia, Senator Robert Ray's Mengenai Masalah Iraq, dalam http://www.australianpolitics.com/news/2002/02-09-17b.shtml

[6] dikutip dari http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4390

[7] Scott Burchill. (2003) The Perils of Our US Alliance. Dalam http://www.smh.com.au/articles/2003/ 06/30/1056825317955.html

[8]Senator Chris Evans, (2003) ALP Claims US Confirms Howard Has Committed Australia. Diambil dari http://www.australianpolitics.com/news/2003/03-01-30.shtml

[9] Dikutip dari; http://www.smh.com.au/1090464859956.html

Labels:

posted by Erlinda at 11:03 PM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home