~My Red Play Ground~

Monday, December 31, 2007

My New Year Resolution

Hari terakhir di tahun 2007…udah banyak hal yang gue alami, banyak orang baru yang udah gue temuin selama tahun ini… semuanya udah menjadikan tahun 2007 ini berwarna bagi gue…

Tepat sehari sebelum tahun baru nih… momen yang pas kan buat bikin resolusi…..

Okeh gue akan tulis yang terpikir buat saat ini, sisanya mungkin ntar malem disambung lagi.

  1. Yang paling deket, bisa nyelesain paper-paper gue tersayang, sama tugas-tugas akhir semester lainnya. Sampe detik-detik terakhir kayak gini, masih ada satu paper yang gue nggak tau mesti nulis soal apa…
  2. Masih berhubungan soal UAS... yang jelas semoga IP gue masih bisa diatas 3,5 kayak semester kemaren lagi, biar cita-cita gue lulus cumlaude dalam waktu tiga setengah tahun bisa tercapai...
  3. Yang satu ini mungkin terlalu ngayal tapi bukan berarti nggak mungkin... Bisa diwisuda November 2008... dan cumlaude...

Yah emang sih gue nggak sepinter mba **** atau mas ***... but i’ll try hard to make it posible...

  1. Nyelesein novel gue yang berhenti penggarapannya sejak gue kuliah (dua tahun lebih)… baru 4 bab nih, mentok di tengah jalan gara-gara pas SMA dulu gue males nyari referensi buat novel gue, jadi ceritanya nggak bisa berkembang.
  2. Bisa jadi orang yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya…poin yang ini emang artinya luas banget…dan biar lah cuma gue aja yang tau semua maksudnya…
  3. Terakhir buat saat ini… Gue berharap bisa konsisten sama resolusi yang gue buat sendiri….

Sekian....

Happy New Year All...dan terima kasih banyak… terutama yang udah baca blog ini...

Hope you’ll get a nice new year... ^^

Labels:

posted by Erlinda at 2:45 AM 0 comments

Saturday, December 29, 2007

Hubungan Australia dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan

<Maaf kalau kesannya tulisan ini tidak terlalu mendalam mengupas permasalahannya. Karena memang sewaktu tulisan ini dibuat, instruksi dosen saya dengan jelas memerintahkan maksimal panjang tulisan hanya dua halaman kuarto. Jadi memang sengaja saya tulis secara sekilas seperti ini.>

Australia mempunyai kepentingan besar pada stabilitas dan pembangunan negara-negara Pasifik Selatan, seperti New Zealand, Papua New Guinea (PNG), dan juga negara-negara kepulauan kecil, misalnya Pulau Solomon, Vanuatu, dan Fiji. Sebagai negara yang bertetangga, Australia merasa mempunyai tanggung jawab terhadap wilayah tersebut. Australia terkait dengan sejarah pembentukan negara-negara Pasifik Selatan, antara lain dengan membantu negara-negara tersebut untuk menjadi mandiri, baik dalam hal ekonomi, pembagian kekuasaan antara pusat dan provinsi, dan falsafah pemerintahan. Australia merupakan daerah sebagai sumber utama impor, investasi, donor pemberi bantuan, serta rekan penting dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Australia juga bekerjasama dengan negara-negara di Pasifik Selatan dalam mengatasi kejahatan transnasional di kawasan tersebut. Seperti terorisme, perdagangan narkoba, human trafficking, imigrasi illegal, dan pencucian uang. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keamanan Australia sendiri. Sedangkan di bidang ekonomi Australia juga mempunyai kepentingan substansial. Data menunjukan nilai ekspor Australia ke negara-negara Pasifik Selatan mencapai jumlah $2,5 miliar, tidak termasuk New Zealand. Investasi langsung Australia kira-kira mencapai $2,3 miliar.

Program bantuan Australia ke kawasan tersebut juga merupakan bagian integral dari upaya pemerintah untuk mendorong stabilitas dan pembangunan regional. Program tersebut difokuskan untuk membangun kapasitas di kawasan tersebut agar mampu menghadapi tantangan ekonomi, keamanan, dan sosial yang dihadapi. Dalam prakteknya hal tersebut melibatkan sejumlah aktifitas penguatan yang bertujuan untuk:

s Meningkatkan pengelolaan ekonomi dan pemerintah akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas, dan pemanfaatan SDA dengan lebih baik.

s Menambah kapasitas kepolisian dan pengadilan untuk memperkuat stabilitas dan usaha dukungan local untuk meredakan konflik dan ketegangan.

s Meningkatkan operasi sektor, terutama akses masyarakat pada pelayanan kesehatan dan pendidikan.

s Menggalakan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan sosial ekonomi oleh pemerintah negara-negara Pasifik Selatan.

Australia dengan Selandia Baru

Hubungan antara Australia dan Selandia Baru, sangat dekat mengingat dahulu mereka hampir menjadi satu negara. Dalam bidang ekonomi, keterikatan hubungan kedua negara juga terbilang cukup kuat. Berbeda dengan hubungan ekonomi Australia dengan negara-negara di Pasifik Selatan lainnya yang tampaknya hanya berupa hubungan satu arah, hubungan ekonomi antara Australia dan Selandia Baru dapat dikatakan sebagai hubungan yang setara mengingat kemampuan ekonomi kedua negara yang tidak terlalu berbeda, serta kedua negara pun saling menjadi partner perdagangan yang sama-sama penting bagi satu sama lain. Hal ini ditandai pada tahun 1983 kedua negara sepakat membentuk Closer Economic Relations (CER) atau juga dikenal sebagai Australia New Zealand Closer Economic Relations Trade Agreement (ANZCERTA), yaitu kesepakatan mengenai perdagangan bebas di antara kedua negara. CER dibuat untuk menggantikan New Zealand Australia Free Trade Agreement (NZAFTA).

Salah satu hasil paling penting dalam CER adalah the Protocol on the Acceleration of Free Trade in Goods, yang dapat menghilangkan seluruh penghalang perdagangan barang, baik tarif maupun kuota, antara kedua negara semenjak 1 Juli 1990, lima tahun lebih awal dari rencana semula[1].

Semenjak terbentuknya CER perdagangan antara kedua negara meningkat dengan pesat. Saat ini Selandia Baru menjadi partner perdagangan Australia terbesar ke-empat dalam bidang ekspor dan Impor, sedangkan Australia adalah partner perdagangan Selandia Baru yang paling utama, baik dalam Ekspor maupun Impor.

Sama halnya hubungan keduanya dalam bidang pertahanan, adalah hubungan yang setara. Keduanya tergabung dalam organisasi pertahanan yang sama yaitu ANZUS dan Five Power Defence Arragement (FPDA). Selain itu kedua negara juga sering mengadakan latihan militer bersama, mengadakan pertukaran dan pelatihan personel militer, serta saling membantu dalam urusan logistik militer.[2]

Australia dengan Papua Nugini

Kedekatan letak geografis dan hubungan sejarah menjadikan Papua Nugini menempati posisi khusus dalam Politik Luar Negeri Australia. Australia berkepentingan bagi keberlangsungan pembangunan dan stabilitas Papua Nugini. Hubungan bilateral kedua negara berada di bawah payung Joint Declaration of Principles pada tahun 1987 dan direvisi pada tahun 1992. Usaha yang dilakukan kedua negara untuk meningkatkan kerjasama adalah melakukan beberapa kali pertemuan menteri (Ministerial Forum) yang dihadiri oleh para menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan, perdagangan, pertahanan, kepolisian, transportasi, bea, dll. Dalam forum ini para pengusaha berkesempatan untuk menjalin hubungan, berkomunikasi dengan para menteri dari kedua negara.

Papua Nugini merupakan salah satu negara yang menerima dana bantuan paling besar dalam program kerjasama pembangunan bilateral Australia. Kerjasama bilateral dalam bidang pertahanan meliputi bantuan teknis dan pelatihan, serta latihan bersama. Australia merupakan negara partner utama Papua Nugini dalam bidang ekonomi, tujuan utama ekspor, sumber utama impor dan investasi asing. Dengan total perdagangan senilai 3,7 miliar dolar Australia setiap tahun, menjadikan Papua Nugini sebagai partner dagang terbesar pada peringkat 20. Investasi Australia sebagian besar ditujukan untuk sektor pertambangan (emas), minyak dan gas.

Australia dengan Smaller Island Countries

Sebagian besar negara-negara kecil di kepulauan Pasifik Selatan mempunyai kemampuan ekonomi yang rendah dan sangat bergantung pada bantuan keuangan luar negeri. Mereka juga menghadapi masalah urbanisasi, pengangguran, rendahnya penegakan hukum, dan masalah lainnya. Dalam bidang keamanan hubungan Australia dengan negara-negara kepulauan kecil di Pasifik Selatan tidak begitu mencolok. Masalah yang muncul misalnya illegal fishing, custom & evasion, commercial violation, dan financial speculation.

DAFTAR PUSTAKA:

Buku:

Evans, Gareth., and Bruce Grant. Australia’s Foreign Relations: In the World of the 1990s, Victoria: Melbourne University Press., 1995.

Situs:

http://en.wikipedia.org/wiki/main_page/ Closer_Economic_Relations/

http://en.wikipedia.org/wiki/main_page/Australia/

http://www. australianexport61.com



[1] Diambil dari http:/en.wikipedia.org/wiki/main_page/ Closer_Economic_Relations/

[2] Gareth Evans dan Bruce Grant, Australia’s Foreign Relations: In the World of the 1990s, (Victoria, 1995), hal. 178.


Labels:

posted by Erlinda at 11:56 PM 0 comments

Demokrasi di India

Demokrasi memang bukanlah hal pasti yang sangat dibutuhkan bagi suatu negara untuk menjadi negara yang maju dan kuat. Namun dalam kasus India, demokrasi dan kemajuan India memiliki hubungan yang sangat terkait, di satu sisi demokrasi dapat menjadi salah satu faktor penunjang kemajuan India dan sebaliknya apabila India semakin maju maka demokrasi pun akan semakin kuat.

Sistem pemerintahan yang demokratis diadopsi oleh India tidak lama setelah negara itu mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1947, yang tertuang dalam konstitusi negara ini. Namun sesungguhnya institusi demokrasi di India mulai berkembang pada masa kekuasaan kolonial. Sejak awal Inggris telah memperkenalkan pemilu, memperkenalkan fungsi sipil yang baik, melakukan sosialisasi atas pemilihan elite politik lewat sistem demokrasi. Di sisi lain proses demokrasi di India juga tidak dapat terlepas dari salah satu ajaran Mahatma Gandhi, yang disebut ahimsa. Ahimsa adalah ajaran yang mengetengahkan bahwa perjuangan harus tetap dilakukan secara damai dan menghindari aksi kekerasan, salah satunya adalah melalui pertisipasi masa.

India memilih bentuk pemerintahan perlementer dengan tujuan untuk membentuk sebuah negara yang berlandaskan prinsip-prinsip kebebasan mengeluarkan pendapat serta pemilihan umum yang dilakukan secara teratur.

Banyak pemikiran yang mengatakan bahwa India adalah negara demokratis dan tergolong paling tua di Asia. Keberhasilan demokrasi di India ini dapat terlihat dalam berbagai bentuk, tergantung pada indikasi yang digunakan untuk menilainya. Apabila kita melihatnya melalui model demokrasi prosedural, yang menekankan pada keberadaan institusi demokrasi, seperti partai politik atau organisasi politik lainnya maka demokrasi di India telah terbilang berhasil. Hal ini dapat dilihat dari kesusesan terselanggaranya pemilu di negara ini. Berbagai studi mengenai demokrasi di India pada beberapa dekade terakhir menekankan pada bagaimana pengenalan terhadap kebebasan berpendapat dan pemilu telah memberikan konstribusi besar bagi national building di India. Proses ini akan membawa India pada proses modernisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan modernisasi dalam bidang sosial-ekonomi, seperti urbanisasi, pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan persamaan sosial yang akan semakin mengaburkan perbedaan kasta dan agama.

Keberhasilan demokrasi di India juga ditandai dengan bagaimana India dapat mendistribusikan kekuasaan hingga berbagai level masyarakat. India adalah negara yang dihuni oleh masyarakat yang beragam, baik itu dari sudut kasta, agama, bahasa, dan lain-lain akan menimbulkan berbagai kelompok minoritas. Di sinilah nampak perbedaan India dibandingkan dengan mayoritas negara dunia ketiga, negara ini mengakui hak-hak minoritas dengan mendistribusikan kekuasaan diantara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

Pernyataan diatas dapat dibuktikan, pada selama beberapa dekade politik di India dikuasai oleh Partai Kongres Nasional India (INC), dengan menguasai suara mayoritas di parlemen. Namun partai ini tidak dapat terus bertahan karena dianggap mulai gagal mendistribusikan kekuasaan dengan baik. Sehingga menimbulkan elit baru dalam Partai Bharatiya Janata (BJP). BJP menjadi kuat dan dapat memenangkan pemilu karena dapat merangkul minoritas seperti penduduk muslim dan komunitas lokal. Sementara itu INC dapat bertahan dan kembali memegang tampuk kekuasaan lagi, karena masih dapat berkompromi dengan berbagai lapisan kekuasaan masyarakat. Jadi tampilnya kekuatan partai di India tidak lepas dari kekuatan mereka yang mampu merangkul tokoh-tokoh masyarakat yang multi etnis, multi agama dan multi bahasa, serta multi kepentingan di India.

Hal lain yang diwarisi India dari pemerintahan kolonial Inggris, yang dapat memperkuat demokrasi di India adalah tentara yang terlatih dan profesional, tentara di India tidak memasuki urusan politik, seperti sebagaimana yang terjadi di banyak negara.

Tulisan ini dibuat tanpa maksud untuk membandingkan secara langsung demokrasi di India dengan demokrasi di negara lain, khususnya di Indonesia. Saya hanya berusaha menceritakan dengan singkat seperti apa demokrasi yang ada di India.

Labels:

posted by Erlinda at 11:41 PM 0 comments

Thursday, December 20, 2007

Duh….UGM…

Menjelang Dies Natalis-nya kampus gue tercinta ini, kenapa makin aneh-aneh aja. Yang nggak tinggal di Jogja atau nggak kuliah di UGM mungkin bingung sama maksud tulisan gue.

Emang UGM kenapa? Jangan-jangan duit BOP naik ya?

Wkwkwkw...nggak tuh, emang sejak kapan gue peduli sama isu begituan (yah kalo emang BOP turun sukur deh, nggak turun ya udah. Lagian tahun depan gue lulus ini *over PD mode: on*)

Well, akhir-akhir ini kayaknya ada perubahan besar-besaran di kampus gue. Beberapa hari lalu, gue liat ada tulisan dipasang di dekat pintu gerbang UGM (deket bunderan UGM), yang intinya selain civitas akademia UGM dilarang masuk. Padahal selama ini tuh jalan di lingkungan kampus UGM terbuka buat umum, jadi kayak jalan raya gitu akhirnya. Gue sih seneng-seneng aja ngeliatnya, secara selama ini gue sering sebel sama orang-orang yang bikin rame jalanan kampus gue, padahal kuliah di sono aja enggak. Bahkan gue sempet mikir mungkin ini kerjaan anak BEM yang nggak suka orang-orang yang nggak ada kepentingan sama UGM berkeliaran bikin ruwet kampus. Dan kalo yang masang emang anak BEM, otomatis diatas kertas tulisan itu cuma tinggal tulisan, nggak ada aturan yang mendukung.

Tapi gue salah, yang masang tulisan itu ternyata pihak kampus sendiri. Besoknya, gue ke kampus dengan tenangnya, lewat rute yang biasa gue lewati kalo mau ke kampus (My beloved Fisipol). Rutenya: Buderan UGM, trus lewat bulevard, belok ke kanan dikit, trus lewat jalan sampingnya GSP (Grha Sabha Pramana), belok di jalan Sosio-Yustisia, nyampe deh ke pintu sampingnya Fisipol. Tapi hari itu gue mendapati kalo jalan disampingnya GSP dijaga bapak-bapak SKK (satuan keamanan kampus), yang pake baju biru-biru itu tuh. Gue mikirnya, mungkin ada acara di GSP, jadi jalan di sampingnya ditutup. Walopun gitu tetep aja aneh, soalnya selama dua tahun lebih gue kuliah di sono belum pernah tuh ada acara di GSP yang sampe bikin jalan di sampingnya ditutup. Seandainya ditutup pun itu karena week end, ada wisuda, ato pokoknya pas kuliah libur. Pas gue ngintip dikit, ternyata jalan di deket gedung S2 ekonomi (yang letaknya disebelahnya Fisipol) juga ditutup. Gue tetep mikir mungkin itu cuma buat sementara, dan gue masih belum nyambungin kejadian itu sama tulisan yang gue liat di deket pintu gerbang UGM kemarennya (maklum kadang gue bisa sangadh lemodh). Ya udah akhirnya setelah lewat bulevard, gue tetep belok ke kanan tapi langsung terus aja lewat sampingnya maskam (masjid kampus), trus lewat jalan sampingnya lembah, jadi dengan terpaksa gue ke Fisipol lewat jalan di sampingnya FH. Nah di jalan itu gue ngeliat spanduk yang tulisannya ”Jalan Khusus Warga UGM atau Tamu”, baru setalah itu gue nyadar kalo jalan-jalan di UGM pada ditutup gara-gara sekarang UGM udah nggak mau wilayah kampusnya dijadiin jalan umum.

Gue sih seneng-seneng aja, seperti tadi yang gue bilang di atas, gue sebel banget sama orang-orang yang nggak ada kepentingan di UGM tapi seenaknya aja lewat-lewat kampus gue (jahat bgt ya gue ini). Tapi kalo ditutup kayak gini gue juga sebel, secara gue mesti muter-muter dulu baru bisa ke kampus (Cih ngabis-ngabisin bensin aja.), dan gue ini kalo nyetir kadang cuma mengendalkan kebiasaan, soalnya kadang gue nyetir tapi pikiran gue nggak ke jalan (bukan berarti gue ngelamun loh, cuma nggak merhatiin rute aja). Nah berhubung gue udah biasa lewat rute lama, aneh aja kalo mesti lewat rute baru, dan kemungkinan gue bakal ’keblabasen’ selalu ada, tinggal tunggu waktu aja.

Kemaren gue sama temen-temen gue ngomongin soal ini. Yah ternyata emang segala sesuatunya ada plus-minusnya. Plusnya.. jalanan di depan kampus gue jadi sepi, bebas polusi suara ato polusi udara. Sampe-sampe gue sama temen-temen gue yang lagi duduk di taman ngerasa ngantuk banget saking sepinya, padahal biasanya suara-suara kendaraan bermotor berisik banget, bikin sebel. Dan kalo gue mau ke Perpus UPT 1 yang ada di depan Fisipol, gue bahkan tinggal nyeberang dengan santainya, nggak perlu tolah-toleh kanan-kiri kayak dulu lagi. Tapi minusnya, ya itu tadi, gue mesti muter-muter dulu baru nyampe kampus, buang-buang bensin banget. Sampe-sampe salah satu temen gue cerita, dia yang tiap hari ke kampus naek sepeda biar cepet, sekarang juga terpaksa muter-muter kayak gue. Soalnya dulu-dulu dia selalu motong jalan lewat Fak pertanian, tapi sekarang jalan itu dijaga sama SKK. Belum lagi berhubung jalan di depan Fisipol ditutup, semua orang parkir di samping jadinya bikin halaman tengah penuh banget sama mobil, dan buntutnya parkiran depan jadi nggak kepake.

Gue sih mikirnya, kenapa hal kayak gini nggak dipikirin dulu lebih panjang, secara fakultas gue termasuk salah satu yang paling dirugikan. Sampe ada temen gue yang ngomong ”Soalnya rektornya bukan orang Fisipol sih.” Bukannya peduli sama politik kampus nih, tapi coba rektornya orang Fisipol (kayak dulu) pasti nggak kayak gini. Kenapa nggak coba cara lain, kayak masang stiker di mobil ato motornya ’orang-orang’ UGM, trus di pintu depan ada SKK yang njaga, atau yang ditutup tuh jangan jalan-jalan di tengah-tengah kampus UGM tapi yang dipinggir-pinggir aja, jadi nggak perlu muter-muter kayak gini *sigh*.

Tapi sutralah, gue coba jalanin aja, walo perlu beradaptasi lagi nih. Dan seperti yang gue bilang di atas..... Tahun depan juga gue bakal lulus, (Amiiiiinnnnnn....)..wkwkwkwkw

Labels:

posted by Erlinda at 2:14 AM 2 comments

Monday, December 17, 2007

Pengiriman Pasukan ke Irak: Upaya Australia Menjadi Good International Citizen

Setiap negara pasti memiliki national interest yang beragam dan berusaha diwujudkannya lewat kebijakan-kebijakan dan implementasinya. Kebijakan dan implementasinya tersebut beragam jenisnya, baik itu berupa kebijakan ke dalam (kebijakan dalam negeri) atau ke luar (kebijakan luar negeri).

Kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor dan memiliki tujuan yang sangat beragam pula. Kebijakan tersebut bukan hanya dalam bentuk kepentingan pertahanan, ekonomi atau perdagangan, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan pemerintah yang tradisonal, namun ada satu kepentingan yang juga sangat penting, yaitu being seen to be a good international citizen, dilihat sebagai warga internasional yang baik. Upaya ini sangat tidak mudah mengingat kecenderungan tindakan yang dilakukan untuk menjadi warga internasional yang baik kadang sering bertabrakan dengan upaya untuk memenuhi national interest negara tersebut yang lain ataupun kadang muncul pertentangan bahkan oleh warga negaranya sendiri.

Bagi Australia sendiri upaya agar negaranya dilihat sebagai warga internasional yang baik tertuang dalam elemen politik luar negeri Australia yang kemudian diterjemahkan menjadi pokok-pokok politik luar negeri Australia. Hal ini penting mengingat posisi Australia dalam dunia internasional sebagai sebuah negara middle power yang kekuasaan dan pengaruhnya masih terbatas, dibandingkan dengan negara great power. Oleh karena itu Australia merasa perlu memberikan kesan bahwa negaranya adalah negara beradap yang patut untuk diperhitungkan, layak diajak untuk bekerjasama dan dapat dipercaya. Berbagai upaya pun dilakukan oleh Australia untuk mendapatkan predikat tersebut termasuk diantaranya memberikan batuan kepada negara-negara dunia ketiga dalam lingkup regionalnya (negara-negara di Asia dan Pasik Selatan), membantu korban bencana alam, dsb. Namun, seperti yang telah disebutkan diatas tidak semua upaya menjadi warga internasional yang baik berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Tercatat beberapa bentuk konkrit upaya Australia, khususnya dalam kepemimpinan PM John Howard, untuk menjadi warga internasional yang baik tidak berjalan seperti yang diharapkan sebelumnya karena berbagai macam faktor. Salah satu upaya yang tidak berjalan dengan mudah tersebut adalah menyangkut kebijakan pemerintah Australia yang mengirimkan pasukannya ke Irak.

Pengiriman Pasukan Australia dalam Perang Irak tahun 2003

Menyusul terjadinya peristiwa serangan teroris pada 11 September 2001 terhadap Amerika Serikat, menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap percaturan politik internasional pasca berakhirnya perang dingin. Rangkaian peristiwa sesudahnya benar-benar menimbulkan banyak kegemparan. Mulai dari dikeluarkannya kebijakan anti-terorisme oleh Amerika Serikat yang kemudian diikuti oleh negara-negara sekutunya, dan pada gilirannya merembet hingga dilakukannya invasi Amerika Serikat ke Afganistan dan ke Irak.

Pada 20 Maret 2003, berdasarkan beberapa alasan dan pertimbangan, Amerika Serikat memutuskan untuk menginvasi Irak, dengan mangabaikan legalitas dari Dewan Keamanan PBB, serta ketidaksetujuan negara-negara diantaranya negara G-7 seperti Perancis dan Jerman.[1] Aksi uniteral Amerika Serikat ini pada akhirnya tetap didukung oleh negara-negara sekutu setianya, beberapa diantaranya adalah Inggris dan Australia. Beberapa tujuan utama Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya adalah menghancurkan senjata pemusnah masal yang dipercaya masih dimiliki oleh Irak, serta menggulingkan rezim Saddam Hussein dan menggantinya dengan pemerintahan baru yang dianggap sesuai dengan kualifikasi yang disyaratkan oleh Amerika Serikat.

Bagi Australia keikutsertaan negaranya dalam perang Irak, bukanlah perang bersama Amerika Serikat yang pertama kali. Sebelumnya Australia juga ikut mengirimkan pasukannya ke Vietnam. Pengiriman pasukan Australia ke Irak ini pun menjadi bahan perdebatan di Australia sendiri, mulai di antara kalangan masyarakat biasa hingga di dalam gedung parlemen. Suara mereka terbagi antara menyetujui atau tidak menyetujui kebijakan tersebut. Terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut, pemerintah Australia tetap mengirimkan pasukannya sebanyak 2.000 personil angkatan bersenjata (ADF) Australia, dikirim untuk membantu tentara Amerika Serikat berperang di Irak. Kendati banyak protes di dalam negeri, hingga saat ini tentara Australia masih banyak yang bertahan di Irak, jumlahnya diperkirakan masih ada sekitar 1.300 personil. Dengan demikian berarti Australia menjadi negara terbesar ketiga yang mengirim pasukan ke Irak setelah Amerika Serikat dan Inggris.

Argumen Pemerintah yang Dikemukakan Mengenai Pengiriman Pasukan Ke Irak

Dalam konteks melaksanakan upaya menjadi warga internasional yang baik, pemerintah Australia menyatakan beberapa argumen untuk membenarkan kebijakan pengiriman pasukannya ke Irak tersebut.

Pertama, karena Irak dianggap memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah masal (weapons of mass destruction). Australia, melalui menteri pertahananya, mengklaim bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan senjata tersebut yang diberikan oleh penyelidik persenjataan PBB di Irak.

Dalam bukti tersebut tertulis bahwa di Irak terdapat 122mm amunisi kosong yang ditemukan di Ukhaider, area pembuangan amunisi pada 16 Januari 2003. sebelas diantaranya dilaporkan dalam keadaan yang sempurna. Sedangkan dua belas lainnya menarik perhatian lebih besar dibandingkan yang lainnya dan kemudian diserahkan kepada para ahli untuk dipelajari. Namun, tidak ditemukan adanya bahan-bahan kimia maupun biologi disekitar tempat ditemukannya amunisi-amunisi tersebut. Terdapat kemungkinan bahwa amunisi-amunisi tersebut diimpor oleh Irak pada akhir tahun 1980-an. Amunisi-amunisi tersebut tidak disebutkan oleh2 Irak pada deklarasi tentang pemusnahan senjata pemusnah masal pada tahun 1997 dan Desember 2002. Barang-barang tersebut akan dilarang melalui resolusi PBB dan segala macam zat kimia yang digunakan untuk melengkapi amunisi-amunisi tersebut juga akan dilarang. Para penyelidik tersebut juga menemukan bunker yang btidak terpakai. Salah satu dari bunker tersebut dipercaya dibangun pada akhir tahun 1990-an. Bunker-bunker tersebut kemudian dipelajari lebih lanjut oleh para ahli yang bekerja untuk PBB. Australia menduga Irak masih terus mengembangkan senjata-senjata pemusnah masalnya.[2]

Australia berpendapat bahwa kepemilikan senjata pemusnah masal tersebut oleh Irak sangat berbahaya bagi keamanan dan perdamaian dunia, mengingat negara tersebut dipimpin oleh Saddam Hussein. Dan bagi Australia mengurangi penyebaran senjata pemusnah masal merupakan tindakan yang benar, sesuai dengan hukum, dan juga merupakan salah satu dari kepentingan Australia[3], oleh karenannya salah satu tujuan pengiriman pasukan ke irak adalah untuk mengakhiri pengembangan senjata pemusnah masal, dan menghancurkan yang masih tersisa.

Kedua, Australia dan Amerika Serikat memiliki persepsi bahwa terdapat keterkaitan antara Irak dengan jaringan teroris Al-Qaeda ataupun dengan peristiwa serangan teroris 11 September 2001. Masih terkait dengan keberadaan senjata pemusnah masal di Irak, Australia memiliki ketakutan bahwa senjata tersebut kalau tidak segera dihancurkan akan berpindah tangan kepada para teroris. Sehingga aksi militer yang cepat dibutuhkan dalam hal ini. Argumen ini juga masih terkait erat dengan komitmen Australia untuk ikut serta dengan Amerika Serikat memberantas terorisme demi terwujudnya stabilitas keamanan dunia.

Ketiga, Australia punya kepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan kebebasan sipil di Irak.[4] Sebagaimana yang diketahui bahwa menurut Australia, rakyat Irak tidak pernah merasakan demokrasi, terutama setelah Irak dikuasai oleh pemimpin yang diktator dan otoriter yaitu Saddam Hussein semenjak tahun 1979. Di samping itu menyebarkan demokrasi telah menjadi agenda internasional, yang dielu-elukan teru Amerika Serikat, semenjak berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet. Australia dan Amerika Serikat akan mempromosikan demokrasi di Irak, hingga Irak dianggap mampu melakukan sendiri dengan benar.

Keempat, Invasi ke Irak juga bertujuan untuk menegakkan hak asasi manusia di sana. Selama bertahun-tahun telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran di Irak yang dilakukan oleh rezim Saddam Hussein terhadap kaum minoritas Kurdi di Irak Utara, merupakan hal yang sangat mengerikan. Saddam menggunakan senjata kimia, biologi, dan radiologi untuk digunakan membantai warganya sendiri. Apabila pengembangan senjata tersebut tidak segera dihentikan maka kejadian tersebut akan terus berlanjut di masa mendatang. Australia merasa bahwa kedatangan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat ke sana akan mengakhiri penderitaan rakyat Irak selama beberapa dekade ini.

Kelima, Irak memiliki kencenderungan mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan aset-aset milik negara tetangganya, dan hal tersebut tidak dapat ditoleransi dalam komunitas internasional.[5] Seperti yang terjadi terhadap Iran pada tahun 1979 dan Kuwait pada 1990. Australia beranggapan tindakan yang dilakukan oleh Irak tersebut berbahaya bagi stabilitas kawasan Timur Tengah. Namun, disisi lain Australia melihat adanya kemungkinan bahwa Invasi ini akan didukung oleh negara-negara tetangga Irak yang selama ini merasa terintimidasi oleh perilaku Irak.

John Howard juga menyatakan keterlibatan Australia dalam invasi tersebut juga sesuai dengan pokok kebijakan luar negeri Australia, menjadi good international citizen, yaitu menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Australia percaya bahwa Saddam Hussein adalah ancaman terhadap perdamaian. Saddam Husein yang dianggap berbahaya bagi perdamaian dunia, tidak dapat dibiarkan memiliki senjata pemusnah massal. Karenanya pelucutan senjata pemusnah masal yang selama ini diinginkan oleh banyak negara dianggap akan mendatangkan perdamaian dunia. Pemerintah Australia juga mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak ingin menggunakan cara militer yang akan penuh kekerasan untuk menghadapi Irak, jika Irak bersedia bekerjasama.

Masalah yang muncul:

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kebijakan yang menyangkut upaya menjadi good international citizen, tidaklah selalu mudah untuk diterapkan. Terutama kebijakan mengenai pengiriman pasukan ke Irak, dalam pelaksanaannya mengalami banyak rintangan dan masalah.

Masalah pertama yang muncul adalah perdebatan di parlemen mengenai apakah Australia akan mengirimkan pasukannya atau tidak, bahkan ketika pengiriman pasukan tersebut masih berupa wacana. Akhirnya Partai Buruh melalui pemimpinnyan pada saat itu, Simon Crean, mengatakan bahwa mereka akan menjadi oposisi dalam kebijakan ini, karena mereka tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang melangkahi otoritas PBB, disamping itu mereka juga merasa bahwa pengiriman pasukan ke Irak hanya akan menyia-nyiakan nyawa tentara Australia di sana. Keputusan menjadi oposisi juga dilakukan oleh Australian Democrats Party dan Greens Party.

Masalah yang kedua, dengan keikutsertaan Australia dalam perang Irak hanya akan semakin menguatkan opini publik bahwa Australia adalah negara pengekor Amerika Serikat, yang akan melakukan apapun jika Amerika Serikat memintanya. Bagaimana tidak, ketika Amerika Serikat menyatakan perang ke Irak, Australia pun ikut bergabung dengan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat tersebut. Australia pun semakin dianggap sebagai negara yang tidak berpendirian karena hanya dapat mengikuti apa yang dikatakan oleh Amerika Serikat.

Masalah ketiga, adalah karena kebijakan mengikuti perang menimbulkan aksi protes besar-besaran yang dilakukan masyarakat Australia, pada umumnya menentang dikirimkannya pasukan Australia ke Irak tahun 2003. Mayoritas masyarakat Australia beranggapan bahwa perang tersebut tidak ada gunanya hanya menambah penderitaan rakyat Irak. Bahkan sebelum Amerika Serikat secara resmi menginvasi Irak pada tanggal 23 Maret 2003, di Australia telah terjadi protes besar-besaran di berbagai tempat. Pada tanggal 16 Februari 2003, diperkirakan sejumlah 500.000 orang melakukan aksi Anti Perang dengan turun ke jalan dan juga menentang keterlibatan Australia dalam Perang di Irak (terbesar kedua sepanjang sejarah setelah perang Vietnam). Sebuah survey pada tahun 2003 mengungkapkan, dukungan publik Australia terhadap pemerintahan PM John Howard merosot, dari 45% jadi hanya 39%, karena kebijakan tersebut.

Setelah pasukan Australia dikirim pun, protes masih terjadi belum juga mereda. Pada tangga 17 Maret 2007 lalu, Sekitar 300 pengunjuk rasa melakukan long-march di Sidney, untuk memperingati peringatan tahun ke empat pendudukan Irak oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Aksi itu, juga dilakukan di sejumlah kota di Australia. Para pengunjuk rasa menyerukan penarikan pasukan, tidak hanya dari Irak tapi juga dari Afganistan. Maraknya masyarakat Australia yang menetang perang Irak semakin lama semakin menurunkan popularitas pemerintahan Howard.[6]

Keempat, banyak pihak yang menentang pengiriman pasukan ke Irak. Karena berpendapat kebijakan tersebut menyebabakan politik luar negeri Australia semakin mirip dengan politik luar negeri Amerika Serikat, dan yang menjadi masalah adalah jika keadaannya tetap demikian, berarti Australia sama saja dengan mengharapkan musuh Amerika Serikat menjadi musuhnya juga, seperti menjadi sasaran teroris. Walaupun bom Bali nampaknya tidak ada kaitannya dengan ini, namun tetap saja kekhawatiran tersebut tetap ada. Bahkan bahaya tidak datang hanya dari para teroris saja, tetapi bisa juga dari negara-negara yang berseberangan pandangan dengan Amerika Serikat, seperti Korea Utara.

Masalah-masalah yang ada di atas sama sekali tidak berpengaruh terhadap penempatan pasukan di Irak, nampaknnya pemerintahan Howard tidak terlalu ambil pusing soal pertentangan-pertentangan yang muncul di dalam negerinya tersebut.

Analisis Pengiriman Pasukan Australia ke Irak Sebagai Upaya Menjadi Good International Citizen

Upaya yang dilakukan pemerintah Australia agar dilihat sebagai warga internasional yang baik oleh negara-negara lain melalui pengiriman pasukannya ke Irak menimbulkan kontroversi yang beragam baik dalam negeri Australia sendiri maupun dari luar.

Banyak pihak yang tidak setuju mengenai pengiriman pasukan tersebut, salah satunya adalah karena kebijakan Australia yang terkesan selalu menuruti kehendak Amerika Serikat. Bahkan ketika melihat argumen yang diajukan Australia sebagai pembenaran perang Irak hampir tidak terdapat perbedaan dengan pembenaran yang digunakan oleh Amerika Serikat. Pengaruh Amerika Serikat yang besar terhadap penentuan kebijakan ini tercermin dalam pernyataan tersebut. Bahkan secara tidak langsung Howard mengakui hal tersebut dengan mengatakan partisipasi Australia dalam perang Irak merupakan salah satu tugas Australia sebagi anggota aliansi Amerika Serikat.[7] Dalam kesempatan lain Howard juga mengatakan. "I said to the Congress yesterday (13 June 2002) that America had no better friend anywhere in the world than Australia”.[8] Tampaknya dibalik argumen bahwa Australia ingin dianggap sebagai warga internasional yang baik, faktor ingin mempererat koalisi dan hubungan baik dengan Amerika Serikat juga memberikan konstribusi besar dalam pengambilan keputusan pengiriman pasukan tersebut.

Namun ironisnya, justru dengan mengirimkan pasukannya ke Irak usaha Australia untuk menjadi warga internasional yang baik tidak berhasil, karena kebijakan tersebut justru mencoreng nama Australia sebagai negara yang mendukung peperangan dan tidak mengindahkan otoritas PBB, karena tetap mengirim pasukannya ke Irak padahal PBB tidak mendukung invasi terhadap Irak tersebut. Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa hingga saat ini belum ditemukan senjata pemusnah masal yang dulu dituduhkan ada di Irak, dan kenyataan mengnasi kondisi Irak pasca Invasi yang bukannya membaik justru semakin buruk.

Karena banyaknya aksi protes yang diterima, kebijakan ini juga sempat menggungcang pemerintahan Howard walaupun dampaknya tidak begitu terasa dan Howard masih dapat terpilih dalam pemilu tahun 2004 karena dianggap masih dapat mempertahankan kestabilan ekonomi Australia. Namun tampaknya hal tersebut tidak akan bertahan lebih lama lagi, dari jajak pendapat yang dipublikasikan Sydney Morning Herald, Senin (12 Februari 2007), Howard kalah dari pemimpin oposisi Kevin Rudd sebagai orang yang paling dikehendaki rakyat untuk menjadi pemimpin negara itu. Dalam jajak pendapat itu, 48 persen dari 1.412 pemilih menghendaki Rudd menjadi PM sedangkan hanya 43 persen masih menginginkan Howard, 9 persen lainnya tidak memutuskan.

Namun di atas segala kegagalan perang Irak, Howard masih beralasan bahwa dirinya tidak peduli alasan yang dulu digunakan untuk menginvasi Iraq sudah menguap Atau konsekuensi dari invasi tersebut ribuan orang Irak meninggal, yang penting bagi Howard, sekarang Saddam sudah digulingkan dari pemerintahannya[9]. Pernyataan ini menjadi bukti bahwa alasan yang dulu diungkapkan sebelum resmi mengirim pasukannya ke Irak, hanyalah pembenaran dari sebuah invasi, bukan tujuan yang sebenarnya.

Terlepas dari semua itu, usaha mendapatkan predikat sebagai warga internasional yang baik melalui pengiriman pasukan ke Irak memang tidak berhasil sesuai yang diharapkan pemerintah Australia. Mungkin sebaiknya untuk mendapatkan predikat tersebut Australia menggunakan cara-cara konvensional yang tidak menimbulkan kontroversial seperti memberikan bantuan kepada negara-negara dunia ketiga yang membutuhkan, dsb. Dengan begitu Australia tidak akan kehilangan hubungan baik dengan Amerika Serikat namun dapat juga menjadi warga internasional yang baik sekaligus.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Evans, Gareth., and Bruce Grant. Australia’s Foreign Relations: In the World of the 1990s, Victoria: Melbourne University Press., 1995.

Setiawati, Siti M., et al. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia. Yogyakarta: Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah Jurusan Ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada., 2004.


Situs Internet:

Australian Politics: http://www.australianpolitics.com/

Sydney Morning Herald: http://www.smh.co.au/

Surya: http://www.surya.co.id

Foreign Policy in Focus: http://fpif.org/fpiftxt/154







[1] Siti M. Setiawati, et al., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta, 2004), hal 13-14.

[2] Koferensi Pres yang diadakan oleh Minister for Defence, Senator Robert Hill, di Commonwealth Parliamentary Offices, Adelaide. Dalam http://www.australianpolitics.com/news/2003/03-01-17.shtml

[3]Transkrip Pidato John Howard menyusul keputusan Amerika Serikat untuk memimpin perang ke Irak, di televisi nasional. Dalam http://www.australianpolitics.com/news/2003/03-03-20/.shtml

[4] Hamilton, Clive, The Left and the Iraq War(2005), dalam http://fpif.org/fpiftxt/154

[5] Pidato Mantan Menteri Pertahan Australia, Senator Robert Ray's Mengenai Masalah Iraq, dalam http://www.australianpolitics.com/news/2002/02-09-17b.shtml

[6] dikutip dari http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4390

[7] Scott Burchill. (2003) The Perils of Our US Alliance. Dalam http://www.smh.com.au/articles/2003/ 06/30/1056825317955.html

[8]Senator Chris Evans, (2003) ALP Claims US Confirms Howard Has Committed Australia. Diambil dari http://www.australianpolitics.com/news/2003/03-01-30.shtml

[9] Dikutip dari; http://www.smh.com.au/1090464859956.html

Labels:

posted by Erlinda at 11:03 PM 0 comments

Saturday, December 8, 2007

Just Be Your Self... eH?

Pernah denger lagunya Nelly Furtado yang judulnya ’Te Busque’? Emang bukan lagu baru sih. Gue aja pertama kali denger udah berbulan-bulan lalu... tapi sampe kapanpun gue bakal tetep merasa tertohok setiap denger ini lagu. Honestly, gue nggak tau apa terjemahan spanish partnya, dan emang belum pernah berusaha nyari tau... Tapi english partnya udah cukup berkata banyak buat gue... terutama bait-bait terakhir, yang nggak dinyanyiin sama mbak Nelly, tapi dibaca kayak baca puisi gitu...

I look in the mirror the picture's getting clearer

I wanna be myself but does the world really need her…(Nelly Furtado: Te Busque)

Kalimat-kalimat ini bener-bener bikin gue mikir…

Hmm lebih tepatnya menyadarkan gue. Selama ini udah ribuan, jutaan, duh pokoknya nggak terhitung deh berapa kali denger kata-kata ”Just be your self!”. Entah itu kata-katanya emang ditujuin buat gue, atau sekedar slogan-slogan nggak jelas yang ditujukan buat orang-orang yang baca ato denger kata-kata itu. Seolah-olah dengan jadi diri sendiri kita sudah bisa dibilang kerenlah, hebatlah, berprinsiplah, dan sebangsanya. Tapi apa mereka yakin kalo diri mereka yang sebenarnya yang dibutuhkan ato seenggaknya baik buat orang-orang lain, yang ada disekitar mereka...

Ambil contoh nih, kalo ada orang yang pada dasarnya kepribadiannya kriminal, tapi selama ini dia berusaha menekan bad sidenya itu dengan meniru kepribadian orang lain yang baik, lah ya masak disuruh be your self... ya tambah jadi maling tuh orang...

Gue nggak mau sok menjudge orang lain loh… tapi kok gue mikir kata-kata be your self itu pada akhirnya digunakan buat membenarkan kekurangan-kekurangan yang ada di diri kita, tanpa kita perlu pusing-pusing berusaha memperbaikinya... kesannya pasrah amat gitu...

Yah emang ada beberapa kekurangan yang mesti kita terima dengan lapang dada dan mesti kita syukuri, tapi nggak semuanya mesti kita terima gitu aja kan ...

Karna...balik ke lirik di atas... yakin tuh kalo diri kita yang sesungguhnya yang bener-bener dibutuhin dunia (yah maksudnya dunia kan nggak cuma dunia secara keseluruhan. Orang-orang di sekitar kita juga part of the world kan...)

Well, alasan gue nulis ini simple aja. Gue cuma bosen disuruh be your self waktu gue curhat ke orang lain… Karna yang paling tau gue itu kayak apa… cuma gue... klo gue nggak jadi diri sendiri... ya suka-suka gue gitu *diamuk masa*... heuheu nggak gitu ding, yah sapa tau gue yang bener-bener asli jauh lebih parah dibanding yang kalian liat...so berhentilah nyuruh gue jadi diri sendiri...

Dan gue juga sebel ngeliat orang lain yang dikata-katain gara-gara dia niru orang lain..
Gue mikirnya nih....kalo orang yang ditiru itu emang lebih baik dibanding dirinya yang asli knapa nggak dibiarin aja...yah, selama kita nggak rugi ini...*ngeloyor dengan santainya*

Labels:

posted by Erlinda at 11:14 PM 0 comments

My first post: Stare the Sea

Bingung juga mau nulis apa buat first post *ditimpuk*…heuheu


Ini bukan blog pertama gue sih, sebelumnya gue udah pernah bikin blog tapi cuma di FS dan nggak update sama sekali, ngisi klo emang lagi pengen aja, dan isinya bener-bener nggak mutu bin parah XP... so sekarang gue bikin lagi, dan yang kali ini semoga nggak bernasib sama kayak blog FS gue...

5 alasan kenapa gue bikin blog ini:

1. Setelah memutuskan buat berenti main-main--disektor-sektor tertentu--dunia maya, tiap ngenet gue jadi sering kurang kerjaan. Wih, tapi nggak segitu kurang kerjaannya juga...

2. Akhir-akhir ini gue sering blogwalking nggak jelas gitu deh, ke blog-nya orang-orang (yang kebanyakan nggak jelas pula...heuheu), trus buntut-buntutnya jadi pengen bikin blog juga.

3. Pengen aja tulisan nggak jelas gue dibaca orang *dikemplang*

4. Dari jaman beheula gue tuh udah ngajakin amities (R, AC, Dee) buat bikin blog barengan (maksudnya kontributor blognya tuh kita bertiga) biar isinya beragam... tapi nggak ada respon dari mereka. Eh tau-tau mereka berdua udah bikin blog di forum EMO, tanpa diriku… huks *nangis mlungker dipojokan*…mentang-mentang gue nggak ngikut di itu forum… ya akhirnya gue bikin aja sendiri… *lirik2 AC sama Dee*

5. Sebagai anak yang kuliah di Jurusan HI... kerjaan gue adalah nulis,, ya nulis esai lah, paper lah (sampe kenyang). Tapi parahnya tulisan-tulisan gue, yang udah gue bikin dengan susah payah, dan bercucuran air mata *halah* itu cuma bisa dikumpulin ke Dosen, dinilai, trus udah deh... hard filenya bakal gue masukin ke kerdus, trus soft filenya 'lumutan' di dalem hard disk gue (nunggu kena virus)... yah dengan adanya blog ini seenggaknya tulisan gue (tentu aja yang berhubungan sama disiplin ilmu yang gue pelajari), khususnya yang esai ato tulisan laen yang pendek-pendek (kalo paper mah kpanjangan, jadi nggak gue masukin) bisa gue masukin... Dan siapa tahu berguna buat orang lain.


Well, I'll try my best buat ngebikin blog ini nggak cuma sekedar jadi 'tempat sampah' unek-unek gue aja, tapi ada hal yang bisa berguna buat orang lain juga. Tapi untuk itu gue mohon dengan sangat, kalo mau mengutip tulisan gue di blog ini... plis credit nama gue, dan alamat blog gue. Maksudnya bukan mau numpang tenar loh.. gue cuma mau hak intelektual gue dihargai.

Walopun ada saatnya owner blog ini jadi nggak beres, dan isi beberapa tulisan di blog ini bisa saja menjadi sangat parah...SO BEWARE!!!

Dan untuk membedakan mana tulisan gue yang bermutu dan mana yang engga...well liat aja penggunaan bahasa yang gue pake di tiap tulisan. Kalo bahasanya kayak gini nih, berarti termasuk kategori yang nggak bermutu. Kalo bahasanya formal, berarti itu, bisa dibilang, bermutu. Mestinya emang lebih bagus kalo gue bikin lagi blog khusus tulisan bermutu aja, tapi takut nggak keurus... jadi inilah blog gue campuran antara keduanya... Dan mungkin bahasa yang gue pake di blog ini menurut orang lain akan terlihat berlebihan, but itu gaya tulisan gue. Dan ini blog gue, sejauh gue ga menyinggung SARA, gue rasa gue nggak melanggar apa-apa. Jadi biarkanlah gue mengapresiasikan pikiran-pikiran gue.


Kalo alasan kenapa gue ngasih nama ~Staring At The Sea~...

Hmmm...

Alasan utama... karna gue suka laut... banget malah...

Kalo pas ke pantai kerjaan gue adalah ngeliat laut sambil mikir berbagai macam hal... Itu juga kesan yang gue liat kalo gue liat orang yang lagi ngeliat laut... kesannya 'dalem' aja...

Dan klo disambungin sama blog ini... blog ini isinya adalah apa yang gue pikirin (walopun gue mikirmya nggak sambil liat laut) tapi gue anggap itu mewakili.

Euh.. judul blognya ada kata Sea-nya, tapi knapa skin-nya merah banget gitu ya...
Jawabannya...karna gue nggak suka Biru *ditimpuk*... gue sukanya merah sama item. Lagian ada orang yang mau berbaik hati ngasih gue skin yang so~ red itu... kya... *peluk2 jenk Edna*... Thangqyuw so much ya jenk.... *peluk2 lagi*

Labels:

posted by Erlinda at 10:38 PM 0 comments